Di sebuah desa kecil di kaki gunung, nama Dewa selalu disebut-sebut. Bukan karena ia seorang tokoh masyarakat atau pejabat, melainkan karena usianya yang sudah senja, 77 tahun, tapi baru saja menikahi seorang gadis yang baru lulus SMA.
Berita itu seperti api yang cepat menyambar jerami kering. Dalam semalam, dari warung kopi hingga pengajian ibu-ibu, dari grup WhatsApp RT hingga obrolan tukang ojek, semua hanya membicarakan satu hal: “Apa benar Dewa, si kakek renta itu, menikah dengan Sari yang baru lulus sekolah?”
Awal Kisah: Kesepian Seorang Tua
Dewa bukan orang kaya. Rumahnya sederhana, berdinding papan dengan atap seng berkarat. Namun, ia dikenal ramah, ringan tangan membantu tetangga, dan meskipun tubuhnya mulai bongkok, sorot matanya masih tajam.
Setelah istrinya meninggal sepuluh tahun lalu, Dewa hidup sebatang kara. Anak-anaknya merantau jauh, sibuk dengan kehidupan masing-masing, jarang pulang. Kesepian kerap jadi teman setia. Malam-malam panjang ia lewati dengan duduk di kursi rotan tua, menatap lampu minyak yang bergoyang diterpa angin.
Di tengah kesepian itulah ia bertemu Sari, gadis berusia 18 tahun.
Pertemuan Tak Terduga
Sari sering datang membantu di rumah Dewa. Kadang membersihkan halaman, kadang hanya sekadar mengantar makanan titipan ibu-ibu pengajian. Awalnya, hubungan mereka biasa saja: seorang kakek yang kesepian dan gadis desa yang penuh rasa iba.
Namun, entah bagaimana, percakapan demi percakapan menumbuhkan sesuatu yang lebih dalam. Dewa merasa muda kembali setiap kali berbicara dengan Sari. Gadis itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap kisah masa lalunya: perjuangan masa perang, jatuh bangun mengurus sawah, hingga kisah cintanya dengan almarhumah istri.
Sari, di sisi lain, menemukan sosok yang menenangkan. Ayahnya sudah lama meninggalkan keluarga, dan ibunya sibuk mencari nafkah. Bersama Dewa, ia merasa dihargai, didengarkan, bahkan dimanja.
Lamaran yang Menggemparkan
Suatu sore, tanpa banyak basa-basi, Dewa memberanikan diri:
“Sari… kamu tahu kakek sudah tua. Tapi kakek tidak ingin menutup mata dalam keadaan sepi. Kalau kamu berkenan, maukah kamu menemani sisa hidup kakek?”
Sari terdiam lama. Dalam hatinya, ada rasa campur aduk: bingung, takut, sekaligus terharu. Ia tahu Dewa tulus, tapi ia juga sadar perbedaan usia mereka seperti langit dan bumi.
Setelah beberapa hari penuh renungan, Sari akhirnya mengangguk. Bukan semata-mata karena cinta, melainkan karena ia merasa berhutang budi, juga karena tekanan hidup yang begitu berat.
Ketika lamaran itu diumumkan ke warga, desa pun geger.
Reaksi Masyarakat
“Gila! Kakek 77 tahun nikah sama anak bau kencur!” seru seorang bapak di warung kopi.
“Dasar Sari matre, pasti hanya mengincar harta peninggalan si Dewa!” celetuk yang lain.
Di sisi lain, ada juga yang mencoba maklum. “Siapa kita menilai? Mungkin memang jodohnya begitu,” kata seorang ibu sambil menghela napas.
Namun mayoritas masyarakat menolak. Bahkan beberapa teman sekelas Sari di SMA menulis sindiran di media sosial: “Baru lulus udah jadi nenek-nenek.”
Sari menangis berhari-hari. Tapi Dewa menenangkannya.
“Biarlah orang berkata apa. Yang penting hati kita tahu kebenarannya.”
Malam Pernikahan
Hari pernikahan tiba. Balai desa penuh sesak, sebagian datang karena undangan, sebagian lagi hanya ingin melihat langsung drama hidup ini.
Dewa duduk bersanding dengan jas hitam lusuh, wajah keriputnya berusaha dipulas bedak tipis. Sari, dengan kebaya putih sederhana, tampak pucat. Matanya sembab menahan air mata, entah karena haru, entah karena tekanan.
Ketika ijab kabul selesai, tepuk tangan terdengar, bercampur dengan bisikan dan cibiran. Ada yang mengucap selamat dengan tulus, ada pula yang tertawa sinis.
Namun bagi Dewa, itu adalah malam penuh kemenangan. Baginya, ia telah mengalahkan kesepian.
Kehidupan Setelah Menikah
Hari-hari setelah pernikahan tidaklah mudah. Sari harus menyesuaikan diri tinggal di rumah sederhana dengan seorang suami yang seusia kakeknya.
Kadang ia merasa tercekik, terutama saat melihat teman-temannya melanjutkan kuliah atau bekerja di kota. Sementara ia, harus mengurus rumah, memasak, dan merawat seorang lelaki tua.
Dewa, meski penuh kasih, tidak bisa menutupi kelemahannya. Tubuhnya ringkih, sering sakit, dan daya tahannya terbatas. Malam-malam, Sari sering terbangun mendengar batuk panjang Dewa.
Di sisi lain, ada pula momen-momen manis. Dewa kerap membacakan kisah lama sambil duduk di beranda, atau mengajari Sari menanam padi, menyapu halaman dengan irama pelan, seakan waktu berjalan lebih lambat.
Konflik Batin Sari
Namun, di balik semua itu, Sari menyimpan konflik batin yang besar.
Setiap kali ia melihat ke cermin, ia bertanya pada dirinya sendiri: “Apakah ini hidup yang aku pilih? Atau hanya jalan yang aku tempuh karena keadaan?”
Ia rindu masa muda, rindu kebebasan, rindu merasakan jatuh cinta pada seseorang seusianya. Tapi setiap kali rasa itu muncul, ia merasa berdosa. Karena di hadapannya ada seorang lelaki tua yang benar-benar mencintainya dengan tulus.
Bisikan Desa
Desa tak pernah berhenti berbisik. Ada yang mencibir, ada yang kasihan, ada pula yang pura-pura ramah namun menusuk di belakang.
Sari semakin jarang keluar rumah. Ia takut tatapan orang, takut cibiran yang menyayat hati. Dewa sadar akan hal itu, dan sering memegang tangan istrinya sambil berkata:
“Sari, jangan pedulikan mereka. Kita hanya butuh Tuhan yang tahu hati kita.”
Namun kata-kata itu tak sepenuhnya mengobati luka yang terus menganga.
Puncak Konflik
Suatu malam, setelah bertengkar kecil karena hal sepele, Sari menangis tersedu. Ia akhirnya berkata dengan suara bergetar:
“Kek… aku sayang sama kakek, tapi aku juga takut. Aku takut kehilangan masa mudaku. Aku takut tak punya pilihan selain menjadi istri yang semua orang hina.”
Dewa terdiam. Hatinya remuk. Ia sadar, cintanya kepada Sari bukan hanya memberi bahagia, tapi juga beban.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Dewa menangis dalam diam.
Penutup: Antara Cinta dan Takdir
Hidup mereka terus berjalan, dengan segala warna luka dan cinta. Dewa tetap berusaha menjadi suami yang penuh kasih, sementara Sari mencoba bertahan antara cinta, pengorbanan, dan impian yang ia kubur.
Apakah pernikahan mereka akan bertahan lama? Tak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti: kisah Dewa dan Sari akan selalu jadi cerita yang dikenang, baik sebagai pelajaran, peringatan, maupun legenda cinta yang tak biasa.













